Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari

Pepatah tersebut adalah pepatah lama tetapi mungkin kurang banyak dipedulikan. Makna dari pepatah itu adalah bahwa segala tingkah laku guru akan ditiru oleh anak didiknya. Ada satu buku yang berjudul Idealitas Pendidikan Nasional yang menggunakan pepatah tersebut sebagai temanya. Membaca pengantar dari buku itu membuat saya tertarik untuk tidak hanya memakai pepatah itu dalam dunia pendidikan di sekolah. Kadangkala, meskipun Guru sudah memberikan contoh yang benar, muridnya belum tentu melakukan sesuai yang dicontohkan. Apalagi kalau Guru tidak memberi contoh sama sekali.

Hal serupa sering saya alami dan saya lihat dalam suatu perusahaan. Guru di dalam perusahaan bisa kita setarakan dengan Atasan, entah itu Supervisor, Manager atau Direktur. Setelah saya coba amati dan saya pelajari perilaku para karyawan, ternyata meskipun mereka sudah tergolong usia dewasa, tetap saja menggunakan “perilaku atasan” sebagai model perilaku mereka. Sebagai contoh, dalam sebuah perusahaan jika atasan sering datang siang atau pulang lebih awal, maka pada suatu saat bawahan akan melakukan pola yang sama. Apakah semua bawahan berlaku demikian? Biasanya 90% ya. Atau atasan sering menggunakan telepon untuk kepentingan pribadi, maka pada suatu saat bawahan akan melakukan pola yang sama. Atau atasan sering melakukan transaksi bisnis di luar perusahaan selama jam kerja perusahaa, maka pada suatu saat akan didapati bahwa bawahan akan melakukan hal yang sama.

Mengapa bisa 90%? Pada awalnya yang meniru hanya 1 orang, kemudian karena pengaruh teman lebih cepat dari pada pengaruh dari atas, maka dengan cepat angka 1 tersebut membentuk penjumlahan kemudian hasil penjumlahan menjadi kelipatan. Cepat sekali prosesnya. Jika gejala tersebut tidak disadari, maka pada titik tertentu akan menjadi masalah yang bisa memusingkan. Pertanyaan yang muncul dibenak saya adalah, apakah perilaku tersebut timbul murni karena meniru perilaku atasan? Menurut pengamatan saya pengaruh yang paling besar dalam pembentukan prilaku adalah “lingkungan” dan “seberapa kuat mental mereka menghadapi lingkungan yang buruk”. Sayangnya hal yang buruk sangat mudah mempengaruhi daripada hal yang baik. Hal ini berlaku baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa. Sehingga masalah yang muncul dari ini adalah pada siapakah tanggung jawab pembentukan mental, supaya mereka hanya meyakini dan melakukan yang benar dan tidak terpengaruh oleh lingkungan.

Saya berpendapat bahwa pembentukan mental tidak bisa diserahkan pada sekolah atau pada pendidik, atau pada atasan. Pembentukkan mental pertama-tama merupakan tanggungjawab orangtua. Kemudian orang tua bekerjasama dengan institusi pendidikan untuk membentuk mental yang lebih tangguh lagi. Dalam hal ini, saya bukannya tidak setuju dengan “pola teladan”. Akan tetapi “pola teladan” sebaiknya diterapkan pada saat masih anak-anak, akan tetapi mereka juga harus diajarkan untuk melihat tetapi tidak sampai meniru hal yang buruk. Yah… tugas para orangtua dan para pendidik untuk mencari cara-cara yang tepat dalam membentuk mental bangsa.

salam dari pak guru

0 komentar:

Posting Komentar